50 Tahun Papua Bersama NKRI: Refleksi Sebuah Klaim Persaudaraan
Oleh: Pico Seno
Ketika bangsa Indonesia mengklaim Irian Barat adalah bagian dari NKRI, maka klaim tersebut merupakan klaim yang utuh terhadap bangsa dan tanah air. Klaim tersebut bukan hanya berlaku buat tanah airnya atau wilayahnya saja, tetapi juga pengakuan bahwa rakyat Irian Barat adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Klaim utuh tersebut kemudian mendapat pengakuan dunia pada tanggal 1 Mei 1963, ketika bendera merah putih berkibar di tanah Irian Barat disaksikan oleh semua pihak yang berkepentingan pada saat itu.
Lima puluh tahun setelah klaim NKRI tersebut efektif diakui dunia, acara-acara peringatan atas peristiwa itupun diselenggarakan. Begitu juga dengan berbagai demonstrasi digelar, baik yang sekedar meminta peninjauan kembali kebijakan-kebijakan pemerintah maupun penggalangan dukungan terhadap upaya kemerdekaan Papua Barat. Tentunya semuanya mempunyai alasan yang kuat yang menjelaskan aksinya.
Permasalahan dan Solusi
Tidak dapat dan tidak perlu dipungkiri bahwa permasalahan di Papua menggunung terkait dengan gap kultural (peradaban), pemerataan pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, perampasan hak masyarakat, hak asasi manusia, dan masih lebih dari tiga gudang lagi topik yang belum terungkap ke permukaan. Namun fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah wilayah Papua (Papua dan Papua Barat) itu sendiri sangatlah luas dengan topografi yang sangat beragam, begitu juga dengan keragaman suku budaya yang mempersulit pencapaian persamaan persepsi. Pendekatan terhadap masalah inilah yang kemudian menentukan berhasil atau tidaknya sebuah solusi.
Tidak semua masalah dapat dipecahkan oleh semua bahkan juga oleh pihak yang berwenang. Salah satu contoh adalah masalah kekurangan gizi di Kabupaten Tambrauw, di mana Bupati mengakui bahwa kekurangan gizi tersebut diantaranya terjadi pada dua kampung yang baru ditemukan pada tahun 2008 karena lokasi yang memang terisolir oleh alam. Konteks masalah yang beragam juga membutuhkan bukan sekedar pendekatan yang tepat saja, melainkan juga kedekatan (proximity). Dari aspek yang terakhir ini, jelas keterbatasan yang amat sangat bukan hanya untuk pemerintah RI tapi juga seluruh dunia.
Masalah demi masalah tidak terselesaikan juga menjadi landasan penguatan bagi Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menyatakan lepas dari NKRI, selain penolakan mereka terhadap keputusan UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) pada tahun 1963 dan proklamasi kemerdekaan Papua 1961 yang didukung Belanda. Klaim dan anti klaim ini kemudian mewujud menjadi propaganda-propaganda yang menyudutkan Rakyat Papua dan saudara-saudaranya di sebelah barat untuk menentukan pilihan. Padahal seperti halnya dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang ingin memberdayakan daerah Merauke dengan merubahnya menjadi sentra produksi pangan dan energi, ajakan untuk merdeka sama sekali tidak menjawab permasalahan warga Zanegi yang utamanya adalah bagaimana melestarikan hutan demi kelangsungan hidup mereka (perspektif budaya lokal).
Perspektif klaim dan kontrol
Adalah hukum alam kepemilikan universal yang saya sebut sebagai klaim dan kontrol yang juga berlaku atas perilaku kita. Kacamata realisme pada hukum ini juga didukung oleh semua prosedur kepemilikkan di manapun di seluruh dunia termasuk ajaran agama-agama yang mengisyaratkan bahwa kepemilikkan absolut hanyalah di tangan Sang Pencipta. Baik pejuang maupun penjajah, kapitalis maupun sosialis, semuanya menerapkan hukum ini. Hukum ini mensyaratkan bahwa sebuah klaim akan menjadi efektif dan berkelanjutan ketika kontrol terhadap obyek yang diklaim juga terjadi secara terus menerus. Klaim secara alami tidak membutuhkan pengakuan verbal ataupun tulisan untuk menjadi efektif, melainkan kontrol terhadap apa yang obyek yang di-klaim. Pengakuan secara sukarela atau terpaksa adalah bentuk kesiapan pihak lain menerima kenyataan.
Republik Indonesia boleh mengklaim rakyat dan wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI, tapi ketika Freeport mengklaim dan mengontrol sebagian kecil dari Papua untuk dimanfaatkan sumber daya alamnya, mampukah pemerintah RI menggeser Freeport dari posisinya sekarang? Bagaimana pemerintah RI akan menerapkan kontrol untuk wilayah yang sulit dijangkau di mana OPM mempunyai akses lebih pendek? Atau bagaimana seorang pemimpin OPM di pegunungan berusaha mengontrol wilayah Negara Papua Barat apabila dia belum pernah melihat laut? Dalam perspektif realisme, semua klaim tanpa diikuti kontrol yang efektif adalah klaim kosong.
Apakah itu kontrol efektif? Kontrol efektif adalah segala upaya dengan menggunakan berbagai macam sumber dan sarana untuk mengenali, memberdayakan, merawat, memanfaatkan dan melindungi obyek yang diklaim. Dalam bahasa-bahasa agama, kontrol adalah kegiatan mensyukuri. Ketika kita tidak mensyukuri sesuatu yang kita miliki (klaim atau diberikan), biasanya sesuatu itu akan berpindah kepemilikkan dengan sendirinya.
Bagaimana dengan kontrol terhadap klaim sebangsa oleh NKRI setelah klaim tersebut berumur lebih dari 50 tahun? Mari kita evaluasi bersama. Pemerintah RI mungkin berharap bisa melakukan kontrol yang seimbang antara penguasaan wilayah dan pembangunan manusia, terbukti dari kegiatan pemekaran, pembangunan sekolah dan kantor-kantor administrasi di berbagai wilayah di Papua. Namun sepertinya itu masih jauh dari cukup, pemerintah masih jauh dari mengenal detil alam Papua dan pemerintah juga masih jauh dari mengenal mendalam mengenai rakyat Papua yang terdiri dari berbagai suku dengan adatnya masing-masing.
Sementara berbagai pihak baik asing maupun lokal, dengan leluasa menyatakan lebih mengenal Papua, terbukti dari korporasi multinasional maupun lokal yang berkemampuan mengeksploitasi alam ataupun peneliti asing yang mampu menerbitkan jurnal ilmiah mengenai keragaman fauna dan hayati alam Papua. Bahkan ada peneliti DNA yang mampu menguraikan keunikan gen manusia Papua. Ketika harus bertanggungjawab untuk melindungi rakyat dari program-program korporasi yang menstimulasi ekonomi daerah maupun nasional, pemerintahpun terbata-bata menuruti kehendak kapital. Walaupun demikian, tentunya pemerintah RI masih jauh lebih unggul dibandingkan OPM yang berkantor di Inggris yang beroperasi menggunakan data sekunder dari pihak-pihak dengan kepentingan lain. Menang proximity lah istilahnya..
Demikian lah kondisi kontrol NKRI saat ini, yang mungkin memunculkan rasa kecewa, marah dan perasaan lainnya ketika tulisan-tulisan kenyataan dipaparkan di berbagai media termasuk media sosial. Namun disela perasaan-perasaan itu, mungkin lebih baik kita jawab pertanyaan bagaimana cara kita yang efektif untuk mensyukuri memiliki Rakyat Papua sebagai saudara sebangsa dan setanah air, karena ketika Sukarno menggerakkan komando untuk merebut Irian Barat pada tahun 1961, beliau mengajak seluruh Rakyat Indonesia, bukan hanya pemerintah ataupun TNI saja.
mari bekerja..